Akhir-akhir ini masyarakat di negara kita banyak dikagetkan
dengan berbagai berita. Mulai dari kenaikan harga bahan baku menjelang Natal dan
Tahun Baru, Aksi Bela Palestina hingga putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
mengenai LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Trans-gender) dan Zina tidak bisa
dipidanakan secara hukum.
MK menolak gugatan uji materi beberapa pasal diantaranya
Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 kitab undang-undang hukum pidana (KUHP)
tentang zina dan hubungan sesama jenis.
Dalam gugatan yang diajukan oleh Guru Besar IPB Euis Sunarti
bersama sejumlah pihak terkait Pasal 284 KUHP, para pemohon mengatakan cakupan
seluruh arti kata zina hanya terbatas bila salah satu pasangan atau keduanya
terikat dalam hubungan pernikahan. Padahal, pasangan yang tidak terikat
pernikahan juga bisa dikatakan zina.
Lalu pada Pasal 285 KUHP, pemohon juga meminta perluasan
makna perkosaan bukan hanya dilakukan pelaku terhadap wanita, tetapi juga
kepada pria dan Pasal 292, pemohon meminta para pelaku seks menyimpang atau
dalam hal ini LGBT, diminta jangan hanya dibatasi oleh orang dewasa.
(news.okezone.com)
Dari putusan yang dikeluarkan MK tersebut, banyak sekali pro
dan kontra yang ada di masyarakat secara luas. Ada masyarakat yang bersikap
tidak sepakat dengan putusan MK tersebut ada juga yang sepakat.
Bagi masyarakat yang tidak sepakat, mereka beralasan bahwa
bagaimanapun itu, zina dan LGBT adalah perilaku menyimpang yang tidak sesuai
dengan moralitas yang terbangun di Indonesia. Lebih jauh dari itu, masyarakat
Indonesia sebagai masyarakat yang beragama tentu meyakini bahwa zina dan LGBT
adalah perbuatan yang dilarang oleh agama manapun.
Selain dua alasan di atas, zina dan LGBT juga dianggap
sebagai perusak masa depan bangsa. Bisa dibayangkan, bagaimana nasib bangsa ini
jika mayoritas penduduk memiliki perilaku LGBT? Bisa jadi nilai kelahiran akan
menurun secara drastis serta generasi penerus bangsa akan di dominasi oleh
orang-orang yang memiliki kelainan seksualitas. Padahal dari kelainan ini akan
sangat berkemungkinan mereka terjangkit penyakit mematikan seperti HIV/AIDS.
Bagi yang sepakat dengan putusan MK, dalih mereka adalah
dalih kebebasan. Mereka menganggap bahwa kehidupan ranjang masyarakat tidak
sepatutnya dimonitor oleh pemerintah. Mereka
mengatakan bahwa negara ini adalah negara berlandaskan Hak Asasi Manusia
(HAM). Sehingga hak yang berkaitan dengan kebebasan individu haruslah
senantiasa dijaga oleh pemerintah. Sayangnya, dari kebebasan individu ini akan
berdampak pada hal yang akan menganggu jalannya roda pemerintahan. Terlebih
yang berkaitan dengan pembiayaan terhadap pengidap penyakit yang disebabkan
oleh LGBT.
Dokter Dewi Inong menceritakan pengalamannya sebagai dokter
dan sudah banyak mendapatkan pasien penderita penyakit menular dan HIV-AIDS, bahwa
biaya yang dikeluarkan seorang penderita HIV-AIDS dan penyakit menular
perharinya tidaklah sedikit dan semua biaya itu harus ditanggung oleh negara.
“Biaya pengobatan
HIV-AIDS setiap harinya perorang 500 ribu sampai 1 juta rupiah, seumur hidup
dan harus ditanggung Negara. Coba kita hitung, berapa yang harus ditanggung
Negara? Karena, kalau tidak dibayarkan oleh negara, HAM akan menuntut.” terangnya.
Dengan demikian, Dokter Dewi Inong mengungkapkan bahwa ini
adalah proxy war (perang tanpa
senjata) yang akan menghancurkan negara ini. Masa depan kita ada di tangan
mereka (anak-anak kita) dan perilaku kita adalah masa depan mereka. (http://www.panjimas.com)
Melihat berbagai dampak jangka pendek maupun (terlebih)
jangka panjang mengenai kerusakan yang dihasilkan oleh LGBT ini, maka sebagai
seorang warna negara yang baik, terlebih juga sebagai seorang muslim kita
seharusnya wajib untuk menolak putusan MK tersebut.
Sebenarnya cukup menjadi seorang manusia saja untuk menolak
LGBT, karena perilaku ini sangat jauh dari nilai eksistensi seorang manusia
dalam meneruskan keturunan. Apalagi sebagai seorang manusia beragama, dalam hal
ini terkhusus orang-orang yang memeluk agama Islam. Karena Islam telah mengecam
perilaku zina dan LGBT. Selain itu, Islam juga telah menyiapkan hukuman yang
sangat berat bagi pelaku zina dan LGBT.
Ada beberapa kalangan masyarakat yang menilai bahwa Islam
adalah agama yang tak berperikemanusiaan. Hal tersebut dikarenakan Islam
terlalu jahat dalam memberikan suatu hukuman. Padahal perlu diketahui, hukuman
dalam Islam bukanlah untuk meluapkan nafsu hakim semata. Namun hal ini didasarkan
pada kaidah bahwa hukum Islam bertujuan untuk menebus dosa pelaku (hanya pada
dosa salah satu perilaku yang menyebabkan dia dihukum) serta memberikah hikmah
atau peringatan bagi yang lainnya.
Jika pelaku zina dan LGBT dibiarkan, bahkan tidak berkesempatan
untuk dipidanakan, maka fenomena tersebut akan sangat marak. Masyarakat akan
dengan mudah melakukan kegiatan tersebut. Karena mereka berfikir bahwa ketika
mereka melakukan hal tersebut, mereka tidak akan mendapatkan hukuman.
Tetapi akan berbeda ketika mereka melihat bahwa pelaku
menyimpang tersebut akan mendapatkan hukuman yang sangat berat. Minimal mereka
akan takut mempropagandakan zina dan LGBT ke tengah-tengah masyrakat. Dampak
lebih jauhnya, masyarakat akan terbentuk sebagai masyarakat yang bermoral.
Terlebih, mereka telah terhitung sebagai orang-orang yang mengamalkan ajaran
agamanya.
Sampai detik ini, terus terjadi perdebatan di tengah-tengah
masyarakat mengenai pro-kotran putusan MK tentang penolakan gugatan uji materi
beberapa pasal diantaranya Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 kitab
undang-undang hukum pidana (KUHP) tentang zina dan hubungan sesama jenis.
Masyarakat terus berargumen dengan dasarnya masing-masing.
Sayangnya dikondisi kegentingan seperti ini, pemerintah
tidak segera hadir untuk menengahinya. Maksudnya, telah banyak pemerintah yang
menyatakan bahwa LGBT merupakan hal yang menyimpang. Namun di sisi lain mereka
tidak bersegera membuat hukum yang menyelesaikan permasalahan ini. Padahal bisa
dikatakan, bahwa LGBT adalah salah satu kondisi yang menggentingkan situasi
keamanan negara. Dari LGBT inilah akan ada kerusakan-kerusakan yang sifatnya
merugikan masa depan bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar