Senin, 01 Januari 2018

LGBT: Polarisasi Dua Jenis Masyarakat

Akhir-akhir ini masyarakat di negara kita banyak dikagetkan dengan berbagai berita. Mulai dari kenaikan harga bahan baku menjelang Natal dan Tahun Baru, Aksi Bela Palestina hingga putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Trans-gender) dan Zina tidak bisa dipidanakan secara hukum.

MK menolak gugatan uji materi beberapa pasal diantaranya Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) tentang zina dan hubungan sesama jenis.

Dalam gugatan yang diajukan oleh Guru Besar IPB Euis Sunarti bersama sejumlah pihak terkait Pasal 284 KUHP, para pemohon mengatakan cakupan seluruh arti kata zina hanya terbatas bila salah satu pasangan atau keduanya terikat dalam hubungan pernikahan. Padahal, pasangan yang tidak terikat pernikahan juga bisa dikatakan zina.


Lalu pada Pasal 285 KUHP, pemohon juga meminta perluasan makna perkosaan bukan hanya dilakukan pelaku terhadap wanita, tetapi juga kepada pria dan Pasal 292, pemohon meminta para pelaku seks menyimpang atau dalam hal ini LGBT, diminta jangan hanya dibatasi oleh orang dewasa. (news.okezone.com)

Dari putusan yang dikeluarkan MK tersebut, banyak sekali pro dan kontra yang ada di masyarakat secara luas. Ada masyarakat yang bersikap tidak sepakat dengan putusan MK tersebut ada juga yang sepakat.

Bagi masyarakat yang tidak sepakat, mereka beralasan bahwa bagaimanapun itu, zina dan LGBT adalah perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan moralitas yang terbangun di Indonesia. Lebih jauh dari itu, masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang beragama tentu meyakini bahwa zina dan LGBT adalah perbuatan yang dilarang oleh agama manapun.

Selain dua alasan di atas, zina dan LGBT juga dianggap sebagai perusak masa depan bangsa. Bisa dibayangkan, bagaimana nasib bangsa ini jika mayoritas penduduk memiliki perilaku LGBT? Bisa jadi nilai kelahiran akan menurun secara drastis serta generasi penerus bangsa akan di dominasi oleh orang-orang yang memiliki kelainan seksualitas. Padahal dari kelainan ini akan sangat berkemungkinan mereka terjangkit penyakit mematikan seperti HIV/AIDS.

Bagi yang sepakat dengan putusan MK, dalih mereka adalah dalih kebebasan. Mereka menganggap bahwa kehidupan ranjang masyarakat tidak sepatutnya dimonitor oleh pemerintah. Mereka  mengatakan bahwa negara ini adalah negara berlandaskan Hak Asasi Manusia (HAM). Sehingga hak yang berkaitan dengan kebebasan individu haruslah senantiasa dijaga oleh pemerintah. Sayangnya, dari kebebasan individu ini akan berdampak pada hal yang akan menganggu jalannya roda pemerintahan. Terlebih yang berkaitan dengan pembiayaan terhadap pengidap penyakit yang disebabkan oleh LGBT.

Dokter Dewi Inong menceritakan pengalamannya sebagai dokter dan sudah banyak mendapatkan pasien penderita penyakit menular dan HIV-AIDS, bahwa biaya yang dikeluarkan seorang penderita HIV-AIDS dan penyakit menular perharinya tidaklah sedikit dan semua biaya itu harus ditanggung oleh negara.

Biaya pengobatan HIV-AIDS setiap harinya perorang 500 ribu sampai 1 juta rupiah, seumur hidup dan harus ditanggung Negara. Coba kita hitung, berapa yang harus ditanggung Negara? Karena, kalau tidak dibayarkan oleh negara, HAM akan menuntut.” terangnya.

Dengan demikian, Dokter Dewi Inong mengungkapkan bahwa ini adalah proxy war (perang tanpa senjata) yang akan menghancurkan negara ini. Masa depan kita ada di tangan mereka (anak-anak kita) dan perilaku kita adalah masa depan mereka. (http://www.panjimas.com)

Melihat berbagai dampak jangka pendek maupun (terlebih) jangka panjang mengenai kerusakan yang dihasilkan oleh LGBT ini, maka sebagai seorang warna negara yang baik, terlebih juga sebagai seorang muslim kita seharusnya wajib untuk menolak putusan MK tersebut.

Sebenarnya cukup menjadi seorang manusia saja untuk menolak LGBT, karena perilaku ini sangat jauh dari nilai eksistensi seorang manusia dalam meneruskan keturunan. Apalagi sebagai seorang manusia beragama, dalam hal ini terkhusus orang-orang yang memeluk agama Islam. Karena Islam telah mengecam perilaku zina dan LGBT. Selain itu, Islam juga telah menyiapkan hukuman yang sangat berat bagi pelaku zina dan LGBT.

Ada beberapa kalangan masyarakat yang menilai bahwa Islam adalah agama yang tak berperikemanusiaan. Hal tersebut dikarenakan Islam terlalu jahat dalam memberikan suatu hukuman. Padahal perlu diketahui, hukuman dalam Islam bukanlah untuk meluapkan nafsu hakim semata. Namun hal ini didasarkan pada kaidah bahwa hukum Islam bertujuan untuk menebus dosa pelaku (hanya pada dosa salah satu perilaku yang menyebabkan dia dihukum) serta memberikah hikmah atau peringatan bagi yang lainnya.

Jika pelaku zina dan LGBT dibiarkan, bahkan tidak berkesempatan untuk dipidanakan, maka fenomena tersebut akan sangat marak. Masyarakat akan dengan mudah melakukan kegiatan tersebut. Karena mereka berfikir bahwa ketika mereka melakukan hal tersebut, mereka tidak akan mendapatkan hukuman.

Tetapi akan berbeda ketika mereka melihat bahwa pelaku menyimpang tersebut akan mendapatkan hukuman yang sangat berat. Minimal mereka akan takut mempropagandakan zina dan LGBT ke tengah-tengah masyrakat. Dampak lebih jauhnya, masyarakat akan terbentuk sebagai masyarakat yang bermoral. Terlebih, mereka telah terhitung sebagai orang-orang yang mengamalkan ajaran agamanya.

Sampai detik ini, terus terjadi perdebatan di tengah-tengah masyarakat mengenai pro-kotran putusan MK tentang penolakan gugatan uji materi beberapa pasal diantaranya Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) tentang zina dan hubungan sesama jenis. Masyarakat terus berargumen dengan dasarnya masing-masing.

Sayangnya dikondisi kegentingan seperti ini, pemerintah tidak segera hadir untuk menengahinya. Maksudnya, telah banyak pemerintah yang menyatakan bahwa LGBT merupakan hal yang menyimpang. Namun di sisi lain mereka tidak bersegera membuat hukum yang menyelesaikan permasalahan ini. Padahal bisa dikatakan, bahwa LGBT adalah salah satu kondisi yang menggentingkan situasi keamanan negara. Dari LGBT inilah akan ada kerusakan-kerusakan yang sifatnya merugikan masa depan bangsa Indonesia.  

Tidak ada komentar: