Masyarakat
Indonesia sedang dihebohkan dengan adanya perubahan pandangan politik oleh
salah satu tokoh yang akhir-akhir ini sangat santer diberitakan sebagai calon presiden
ataupun calon wakil presiden 2019 terbaik pilihan ummat Islam. Beberapa waktu
lalu, TGB (Tuan Guru Bajang) Muhammad Zainul Majdi menyatakan mendukung agar
Presiden Jokowi (Joko Widodo) melanjutkan kepemimpinannya, alias Jokowi maju dua
periode sebagai Presiden RI (Republik Indonesia)
TGB
Muhammad Zainul Majdi selaku gubernur dua periode di Nusa Tenggara Barat (NTB)
yang akhir-akhir ini banyak dielukan masyarakat golongan tagar #2019GantiPresiden
sontak membuat golongan tersebut kebingungan. Sosok TGB yang dikenal kritis
terhadap kebijakan Jokowi justru kini beralih pandangan 180 derajat.
Sebenarnya
fenomena kebingungan masyarakat ini tidak terjadi kali ini saja. Tentu masih
fasih di ingatan, bagaimana sosok Jusuf Kalla (JK) yang pada saat tahun SBY
(Susilo Bambang Yudhoyono) menjadi Presiden, ia sangat anti terhadap rencana
Jokowi menjadi Presiden. Namun sungguh di luar dugaan, ternyata sosok JK
berbalik arah untuk mendukung Jokowi sebagai
calon presiden, bahkan sosok yang di tahun pemilihan sebelumnya gagal dalam
pemilihan presiden tersebut membersamai pencalonan Jokowi tersebut dengan
menjadi calon wakil presidennya.
Masih
banyak lagi contoh-contoh dari para tokoh politik yang akhirnya membelokkan
arah pandangan dengan sangat tidak terduga. Selain tokoh politik, partai
politik juga banyak yang mengubah arah pandangannya. Dan lagi-lagi ini membuat
masyarakat luas binggung. Bahkan tidak jarang para kader partai politik
tersebut juga kebingungan. Semisal yang terjadi pada pemilukada (pemilihan umum
kepada daerah) di Jawa Timur kemarin, di mana ada beberapa partai politik yang
sangat konsisten agar 2019 ganti presiden, namun nyatanya partai mereka justru
mendukung salah satu calon kepala daerah yang dengan tegas mendukung agar
Jokowi maju sebagai presiden RI di dua periode.
Menurut
Aristoteles politik adalah upaya atau cara untuk memperoleh sesuatu yang
dikehendaki. Jika pengertian ini disandingkan dengan fakta yang ada pada
politik di era demokrasi saat ini, tentu makna ini sangat relevan. Kita dapat
ketahui banyak sekali politikus yang mempunyai visi-misi tertentu untuk
diwujudkan dalam mengurusi masyarakat luas, dan merekapun mengambil jalan
berpolitik di era demokrasi untuk benar-benar merealisasikan itu semua.
Makna
lebih pasti mengenai politik dalam era demokrasi merupakan suatu ajang untuk
meraih kekuasaan. Dan seringkali dalam perjalanan demokrasi, kekuasaan
dijadikan sebagai ajang untuk meraih kepentingan-kepentingan individu maupun
golongan tertentu saja sehingga sering kali abai dalam mengurusi kepentingan
masyarakat luas.
Hal
tersebut tentu selaras dengan fenomena yang terjadi saat ini, di mana banyak
politikus maupun partai politik yang berbelok seperti sekehendak hati dirinya
sendiri tanpa mempertimbangkan lagi kemaslahatan masyarakat banyak dan suatu
makna kebenaran yang hakiki.
Maka
jelas, politik dalam demokrasi sudah sangat membentuk nilai-nilai yang membuat
masyarakat luas binggung. Tidak hanya dalam jajaran orang-orang yang sangat
awam dalam memahami makna politik di era demokrasi, bahkan juga para pemerhati
politik sekalipun.
Tentu
hal-hal demikian membahayakan keberlangsungan suatu kehidupan bermasyarakat.
Masyarakat akan dengan mudah digiring kepada arus individualisme politikus
maupun partai politik tertentu, yang mereka saja sudah jelas tidak memiliki
idealisme terhadap sesuatu yang dulu telah diembannya.
Maka
sebagai referensi makna politik lainnya, yang makna ini untuk selanjutnya tidak
untuk dipahami saja tetapi juga bisa untuk dilaksanakan, marilah kita merujuk
pada makna politik dalam Islam. Politik di dalam bahasa Arab dikenal
dengan istilah siyasah. Oleh
sebab itu, di dalam buku-buku para ulama salafus
shalih dikenal istilah siyasah
syar’iyyah, misalnya. Dalam Al Muhith, siyasah
berakar kata sâsa – yasûsu. Dalam
kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan
berarti Qama ‘alaiha wa radlaha
wa... adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila
dikatakan sasa al amra artinya dabbarahu
(mengrusi/mengatur perkara).
Jadi,
asalnya makna siyasah (politik)
tersebut diterapkan pada pengurusan dan pelatihan gembalaan. Lalu, kata
tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-urusan manusia; dan pelaku
pengurusan urusan-urusan manusia tersebut dinamai politisi (siyasiyun).
Dalam
realitas bahasa Arab dikatakan bahwa ulil
amri mengurusi (yasûsu) rakyatnya saat mengurusi urusan rakyat,
mengaturnya, dan menjaganya. Begitu pula dalam perkataan orang Arab dikatakan :
‘Bagaimana mungkin rakyatnya terpelihara (masûsah) bila pemeliharanya ngengat (sûsah)’, artinya bagaimana mungkin kondisi rakyat akan baik bila
pemimpinnya rusak seperti ngengat
yang menghancurkan kayu. Dengan demikian, politik merupakan pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah), pelurusan (taqwim), pemberian arah petunjuk (irsyad), dan pendidikan (ta`dib).
Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya: “Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah” (HR. Bukhari dan Muslim).
Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya: “Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah” (HR. Bukhari dan Muslim).
Merujuk
pada makna politik menurut Islam di atas, maka politik Islam telah terbukti
sebagai sesuatu yang melahirkan sikap konsisten terhadap apa yang di bawa, baik
oleh politikus maupun partai politik. Politikus maupun partai politik apapun
yang mengatasnamakan diri sebagai Islam, seharusnya benar-benar merujuk makna
di atas agar mereka mengambil suatu kebenaran yang murni bersumber dari
Al-Quran dan As-Sunnah. Sehingga akan muncul sikap konsisten terhadap apa yang
telah diambilnya. Bukan justru dengan mudahnya berpindah haluan tanpa
memperhatikan makna kebenaran yang hakiki dalam pandangan politik Islam.
Dalam
segi bukti empiris sejarah, Politik Islam telah membuktikan mampu menyatukan
banyak jenis ras, golongan, bangsa, hingga agama. Bukti paling fenomenal adalah
adanya julukan “negeri tiga agama”
bagi Spanyol. Di sana pernah bersatu tiga agama besar dunia secara rukun, yakni
agama Islam, Nasrani dan Yahudi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar