Minggu, 02 September 2018

Inkonsistensi Politik, Membuat Raktat Menggelitik


Masyarakat Indonesia sedang dihebohkan dengan adanya perubahan pandangan politik oleh salah satu tokoh yang akhir-akhir ini sangat santer diberitakan sebagai calon presiden ataupun calon wakil presiden 2019 terbaik pilihan ummat Islam. Beberapa waktu lalu, TGB (Tuan Guru Bajang) Muhammad Zainul Majdi menyatakan mendukung agar Presiden Jokowi (Joko Widodo) melanjutkan kepemimpinannya, alias Jokowi maju dua periode sebagai Presiden RI (Republik Indonesia)

TGB Muhammad Zainul Majdi selaku gubernur dua periode di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang akhir-akhir ini banyak dielukan masyarakat golongan tagar #2019GantiPresiden sontak membuat golongan tersebut kebingungan. Sosok TGB yang dikenal kritis terhadap kebijakan Jokowi justru kini beralih pandangan 180 derajat.

Sebenarnya fenomena kebingungan masyarakat ini tidak terjadi kali ini saja. Tentu masih fasih di ingatan, bagaimana sosok Jusuf Kalla (JK) yang pada saat tahun SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) menjadi Presiden, ia sangat anti terhadap rencana Jokowi menjadi Presiden. Namun sungguh di luar dugaan, ternyata sosok JK berbalik arah untuk  mendukung Jokowi sebagai calon presiden, bahkan sosok yang di tahun pemilihan sebelumnya gagal dalam pemilihan presiden tersebut membersamai pencalonan Jokowi tersebut dengan menjadi calon wakil presidennya.


Masih banyak lagi contoh-contoh dari para tokoh politik yang akhirnya membelokkan arah pandangan dengan sangat tidak terduga. Selain tokoh politik, partai politik juga banyak yang mengubah arah pandangannya. Dan lagi-lagi ini membuat masyarakat luas binggung. Bahkan tidak jarang para kader partai politik tersebut juga kebingungan. Semisal yang terjadi pada pemilukada (pemilihan umum kepada daerah) di Jawa Timur kemarin, di mana ada beberapa partai politik yang sangat konsisten agar 2019 ganti presiden, namun nyatanya partai mereka justru mendukung salah satu calon kepala daerah yang dengan tegas mendukung agar Jokowi maju sebagai presiden RI di dua periode.

Menurut Aristoteles politik adalah upaya atau cara untuk memperoleh sesuatu yang dikehendaki. Jika pengertian ini disandingkan dengan fakta yang ada pada politik di era demokrasi saat ini, tentu makna ini sangat relevan. Kita dapat ketahui banyak sekali politikus yang mempunyai visi-misi tertentu untuk diwujudkan dalam mengurusi masyarakat luas, dan merekapun mengambil jalan berpolitik di era demokrasi untuk benar-benar merealisasikan itu semua.

Makna lebih pasti mengenai politik dalam era demokrasi merupakan suatu ajang untuk meraih kekuasaan. Dan seringkali dalam perjalanan demokrasi, kekuasaan dijadikan sebagai ajang untuk meraih kepentingan-kepentingan individu maupun golongan tertentu saja sehingga sering kali abai dalam mengurusi kepentingan masyarakat luas.

Hal tersebut tentu selaras dengan fenomena yang terjadi saat ini, di mana banyak politikus maupun partai politik yang berbelok seperti sekehendak hati dirinya sendiri tanpa mempertimbangkan lagi kemaslahatan masyarakat banyak dan suatu makna kebenaran yang hakiki.

Maka jelas, politik dalam demokrasi sudah sangat membentuk nilai-nilai yang membuat masyarakat luas binggung. Tidak hanya dalam jajaran orang-orang yang sangat awam dalam memahami makna politik di era demokrasi, bahkan juga para pemerhati politik sekalipun.

Tentu hal-hal demikian membahayakan keberlangsungan suatu kehidupan bermasyarakat. Masyarakat akan dengan mudah digiring kepada arus individualisme politikus maupun partai politik tertentu, yang mereka saja sudah jelas tidak memiliki idealisme terhadap sesuatu yang dulu telah diembannya.

Maka sebagai referensi makna politik lainnya, yang makna ini untuk selanjutnya tidak untuk dipahami saja tetapi juga bisa untuk dilaksanakan, marilah kita merujuk pada makna politik dalam Islam. Politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah. Oleh sebab itu, di dalam buku-buku para ulama salafus shalih dikenal istilah siyasah syar’iyyah, misalnya. Dalam Al Muhith, siyasah berakar kata sâsa – yasûsu. Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti Qama ‘alaiha wa radlaha wa... adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra artinya dabbarahu (mengrusi/mengatur perkara).

Jadi, asalnya makna siyasah (politik) tersebut diterapkan pada pengurusan dan pelatihan gembalaan. Lalu, kata tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-urusan manusia; dan pelaku pengurusan urusan-urusan manusia tersebut dinamai politisi (siyasiyun).

Dalam realitas bahasa Arab dikatakan bahwa ulil amri mengurusi (yasûsu) rakyatnya saat mengurusi urusan rakyat, mengaturnya, dan menjaganya. Begitu pula dalam perkataan orang Arab dikatakan : ‘Bagaimana mungkin rakyatnya terpelihara (masûsah) bila pemeliharanya ngengat (sûsah)’, artinya bagaimana mungkin kondisi rakyat akan baik bila pemimpinnya rusak seperti ngengat yang menghancurkan kayu. Dengan demikian, politik merupakan pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah), pelurusan (taqwim), pemberian arah petunjuk (irsyad), dan pendidikan (ta`dib).

Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya:Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah” (HR. Bukhari dan Muslim).

Merujuk pada makna politik menurut Islam di atas, maka politik Islam telah terbukti sebagai sesuatu yang melahirkan sikap konsisten terhadap apa yang di bawa, baik oleh politikus maupun partai politik. Politikus maupun partai politik apapun yang mengatasnamakan diri sebagai Islam, seharusnya benar-benar merujuk makna di atas agar mereka mengambil suatu kebenaran yang murni bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah. Sehingga akan muncul sikap konsisten terhadap apa yang telah diambilnya. Bukan justru dengan mudahnya berpindah haluan tanpa memperhatikan makna kebenaran yang hakiki dalam pandangan politik Islam.

Dalam segi bukti empiris sejarah, Politik Islam telah membuktikan mampu menyatukan banyak jenis ras, golongan, bangsa, hingga agama. Bukti paling fenomenal adalah adanya julukan “negeri tiga agama” bagi Spanyol. Di sana pernah bersatu tiga agama besar dunia secara rukun, yakni agama Islam, Nasrani dan Yahudi.

Tidak ada komentar: