Minggu, 18 Maret 2018

Memaknai Tahun Politik


Pada tahun 2018 ini, tensi polisik nasional sedang naik-naiknya. Banyak orang menghalalkan segala cara untuk mempersiapkan diri meraih kekuasaan yang telah ditargetkan. Banyak orang menganggap, momentum seperti ini dikatakan sebagai fenomena tahun politik.

Banyak pihak kini sering menyebut tahun politik. Tak terkecuali Presiden Republik Indonesia (RI), yakni Bapak Joko Widodo (Jokowi). Dalam kegiatan “Rembuk Nasional 2017” dengan tema “3 Tahun Kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla” yang bertempat di di Jiexpo, Kebayoran, Jakarta. Ketika berkesempatan memberikan pidato, Bapak Jokowi menyinggung bahwa tahun 2018 sudah menjadi tahun politik bagi bangsa Indonesia.

Sayangnya, begitu massif penyebutan kalimat tahun politik, dibarengi dengan banyak masyarakat yang sebenarnya tidak mengetahui atau memahami apa makna kalimat tersebut. Terlebih hal demikian didukung dengan adanya fenomena mengaitkan politik hanya pada waktu-waktu tertentu menjelang Pileg (pilihan legislatif) dan Pilpres (pilihan presiden) saja. Alhasil, masyarakat seolah-olah memahami bahwa kehidupan mereka memang tidak terkait dengan politik. Kecuali hanya pada satu tahun menjelang fenomena pileg dan capres saja.


Tentu hal seperti itu sangat disayangkan. Karena ketika kita menyadari lebih mendalam, kita akan menemukan fakta bahwa semua hal yang ada di kehidupan kita adalah menyangkut politik. Bahkan stabilitas keperluan dapur rumah tangga  juga tidak terlepas dari urusan politik. Garam yang naik, tentu dipengaruhi dari kebijakan impor oleh pemerintah, yang tentu hal demikian adalah buah dari kebijakan politik.

Contoh lain adalah adanya kesibukan mahasiswa yang tidak ada batasnya. Tentu ini juga dampak dari suatu kebijakan politik bahwa iklim belajar mahasiswa harus difokuskan pada pengejaran nilai akademik yang sangat tinggi. Sehingga berbagai praktikum dan tugas kuliah tidak terelakan lagi datangnya.

Dari dua contoh di atas, tentu akhirnya sangat disayangkan jika masyarakat luas tidak begitu memahami makna politik. Apalagi mereka hanya disuasanakan bahwa mereka akan berurusan dengan politik tatkla hendak menjumpai pilpres dan pileg saja. Sedangkan selain waktu tersebut, hidup mereka abai dengan politik. Bahkan mereka terkesan tidak peduli sama sekali dengan pembicaraan yang mengarah pada politik.

Padahal penyair Jerman Bertolt Brecht pernah menyatakan, “Buta yang terburuk adalah buta politik.” Dengan buta terhadap politik, secara tidak langsung kita akan melakukan bunuh diri. Karena ketika kita buta terhadap politik, akan banyak hal yang menimpa kita dan itu sangat merugikan kita sebagai orang kecil dan hanya menguntungkan pihak-pihak atas yang berduit dan berkepentingan saja.

Nampaknya fenomena inilah yang senantiasa terjadi dalam suasana kehidupan demokrasi. Karena dalam sistem ini, politik hanya cukup dimaknakan sebagai sarana mencari kekuasaan dan jabatan semata. Terlebih, dari waktu ke waktu, iklim demokrasi semakin memburuk. Demokrasi telah menciptakan jutaan politikus yang serakah. Hal demikian dibuktikan dengan banyaknya kasus korupsi, suap dan nepotisme yang jelas menyusahkan dan merugikan banyak masyarakat.

Sayangnya, masyarakat masih sering terbius dengan kagagalan-kegagalan demokrasi kita saat ini. Tentu jika dikembalikan dengan pemaknaan terhadap tahun politik, hal demikian terjadi karena masyarakat sudah enggan membahas politik lagi. Sehingga situasi demikian terkesan diambil untung oleh oknum-oknum yang terlalu berambisi mencari kekuasaan. Hingga mereka memanfaatkan keengganan dan kebutaan masyarakat untuk menyukseskan peraihan kepentingan sesaat mereka.

Sebagai masyarakat yang mencintai negeri ini, seharusnya kita tidak bisa begitu saja berdiam diri. Harus ada upaya-upaya yang kita lakukan. Terlebih bagi seorang muslim, tentu harus menyadari bahwa Islam merupakan agama yang sempurna. Islam telah mengatur segala aspek kehidupan. Mulai dari urusan masuk kamar mandi hingga masuk pemerintahan. Mulai dari membangun rumah tangga sampai membangun negara.

Hanya saja hal demikian sering ditanggapi negatif oleh kalangan yang tidak  menyukai politik Islam. Mereka menganggap dan terkesan tidak rela jika Islam masuk ke ranah politik. Mereka  menganggap bahwa Islam tidak berhak mengatur politik. Karena ketika Islam masuk dalam ranah politik, maka urusannya akan panjang. Akan banyak menimbulkan kekacauan.

Padahal, sesungguhnya Islam telah memiliki makna yang sangat luar biasa dan mulia menenai politik ini. Politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah. Oleh sebab itu, di dalam buku-buku para ulama salafus shalih dikenal istilah siyasah syar’iyyah, misalnya. Dalam Al Muhith, siyasah berakar kata sâsa – yasûsu. Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti Qama ‘alaiha wa radlaha wa... adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra artinya dabbarahu (mengrusi/mengatur perkara).

Jadi, asalnya makna siyasah (politik) tersebut diterapkan pada pengurusan dan pelatihan gembalaan. Lalu, kata tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-urusan manusia; dan pelaku pengurusan urusan-urusan manusia tersebut dinamai politisi (siyasiyun).

Dalam realitas bahasa Arab dikatakan bahwa ulul amri mengurusi (yasûsu) rakyatnya saat mengurusi urusan rakyat, mengaturnya, dan menjaganya. Begitu pula dalam perkataan orang Arab dikatakan : ‘Bagaimana mungkin rakyatnya terpelihara (masûsah) bila pemeliharanya ngengat (sûsah)’, artinya bagaimana mungkin kondisi rakyat akan baik bila pemimpinnya rusak seperti ngengat yang menghancurkan kayu. Dengan demikian, politik merupakan pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah), pelurusan (taqwim), pemberian arah petunjuk (irsyad), dan pendidikan (ta`dib).

Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya:Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam segi bukti empiris sejarah, Politik Islam telah membuktikan mampu menyatukan banyak jenis ras, golongan, bangsa, hingga agama. Bukti paling fenomenal adalah adanya julukan “negeri tiga agama” bagi Spanyol. Di sana pernah bersatu tiga agama besar dunia secara rukun, yakni agama Islam, Nasrani dan Yahudi.

Tidak ada komentar: