Pada
tahun 2018 ini, tensi polisik nasional sedang naik-naiknya. Banyak orang
menghalalkan segala cara untuk mempersiapkan diri meraih kekuasaan yang telah
ditargetkan. Banyak orang menganggap, momentum seperti ini dikatakan sebagai
fenomena tahun politik.
Banyak
pihak kini sering menyebut tahun politik. Tak terkecuali Presiden Republik
Indonesia (RI), yakni Bapak Joko Widodo (Jokowi). Dalam kegiatan “Rembuk
Nasional 2017” dengan tema “3 Tahun Kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla” yang
bertempat di di Jiexpo, Kebayoran, Jakarta. Ketika berkesempatan memberikan
pidato, Bapak Jokowi menyinggung bahwa tahun 2018 sudah menjadi tahun politik
bagi bangsa Indonesia.
Sayangnya,
begitu massif penyebutan kalimat tahun politik, dibarengi dengan banyak
masyarakat yang sebenarnya tidak mengetahui atau memahami apa makna kalimat
tersebut. Terlebih hal demikian didukung dengan adanya fenomena mengaitkan
politik hanya pada waktu-waktu tertentu menjelang Pileg (pilihan legislatif)
dan Pilpres (pilihan presiden) saja. Alhasil, masyarakat seolah-olah memahami
bahwa kehidupan mereka memang tidak terkait dengan politik. Kecuali hanya pada
satu tahun menjelang fenomena pileg dan capres saja.
Tentu
hal seperti itu sangat disayangkan. Karena ketika kita menyadari lebih
mendalam, kita akan menemukan fakta bahwa semua hal yang ada di kehidupan kita
adalah menyangkut politik. Bahkan stabilitas keperluan dapur rumah tangga juga tidak terlepas dari urusan politik.
Garam yang naik, tentu dipengaruhi dari kebijakan impor oleh pemerintah, yang
tentu hal demikian adalah buah dari kebijakan politik.
Contoh
lain adalah adanya kesibukan mahasiswa yang tidak ada batasnya. Tentu ini juga
dampak dari suatu kebijakan politik bahwa iklim belajar mahasiswa harus
difokuskan pada pengejaran nilai akademik yang sangat tinggi. Sehingga berbagai
praktikum dan tugas kuliah tidak terelakan lagi datangnya.
Dari
dua contoh di atas, tentu akhirnya sangat disayangkan jika masyarakat luas
tidak begitu memahami makna politik. Apalagi mereka hanya disuasanakan bahwa
mereka akan berurusan dengan politik tatkla hendak menjumpai pilpres dan pileg
saja. Sedangkan selain waktu tersebut, hidup mereka abai dengan politik. Bahkan
mereka terkesan tidak peduli sama sekali dengan pembicaraan yang mengarah pada
politik.
Padahal
penyair Jerman Bertolt Brecht pernah menyatakan, “Buta yang terburuk adalah buta politik.” Dengan buta terhadap
politik, secara tidak langsung kita akan melakukan bunuh diri. Karena ketika
kita buta terhadap politik, akan banyak hal yang menimpa kita dan itu sangat
merugikan kita sebagai orang kecil dan hanya menguntungkan pihak-pihak atas
yang berduit dan berkepentingan saja.
Nampaknya
fenomena inilah yang senantiasa terjadi dalam suasana kehidupan demokrasi.
Karena dalam sistem ini, politik hanya cukup dimaknakan sebagai sarana mencari
kekuasaan dan jabatan semata. Terlebih, dari waktu ke waktu, iklim demokrasi
semakin memburuk. Demokrasi telah menciptakan jutaan politikus yang serakah.
Hal demikian dibuktikan dengan banyaknya kasus korupsi, suap dan nepotisme yang
jelas menyusahkan dan merugikan banyak masyarakat.
Sayangnya,
masyarakat masih sering terbius dengan kagagalan-kegagalan demokrasi kita saat
ini. Tentu jika dikembalikan dengan pemaknaan terhadap tahun politik, hal
demikian terjadi karena masyarakat sudah enggan membahas politik lagi. Sehingga
situasi demikian terkesan diambil untung oleh oknum-oknum yang terlalu
berambisi mencari kekuasaan. Hingga mereka memanfaatkan keengganan dan kebutaan
masyarakat untuk menyukseskan peraihan kepentingan sesaat mereka.
Sebagai
masyarakat yang mencintai negeri ini, seharusnya kita tidak bisa begitu saja
berdiam diri. Harus ada upaya-upaya yang kita lakukan. Terlebih bagi seorang
muslim, tentu harus menyadari bahwa Islam merupakan agama yang sempurna. Islam
telah mengatur segala aspek kehidupan. Mulai dari urusan masuk kamar mandi
hingga masuk pemerintahan. Mulai dari membangun rumah tangga sampai membangun
negara.
Hanya
saja hal demikian sering ditanggapi negatif oleh kalangan yang tidak menyukai politik Islam. Mereka menganggap dan
terkesan tidak rela jika Islam masuk ke ranah politik. Mereka menganggap bahwa Islam tidak berhak mengatur
politik. Karena ketika Islam masuk dalam ranah politik, maka urusannya akan
panjang. Akan banyak menimbulkan kekacauan.
Padahal,
sesungguhnya Islam telah memiliki makna yang sangat luar biasa dan mulia
menenai politik ini. Politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah. Oleh sebab itu, di dalam
buku-buku para ulama salafus shalih
dikenal istilah siyasah syar’iyyah,
misalnya. Dalam Al Muhith, siyasah
berakar kata sâsa – yasûsu. Dalam
kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan
berarti Qama ‘alaiha wa radlaha wa... adabbaha
(mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra
artinya dabbarahu (mengrusi/mengatur
perkara).
Jadi,
asalnya makna siyasah (politik)
tersebut diterapkan pada pengurusan dan pelatihan gembalaan. Lalu, kata
tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-urusan manusia; dan pelaku
pengurusan urusan-urusan manusia tersebut dinamai politisi (siyasiyun).
Dalam
realitas bahasa Arab dikatakan bahwa ulul amri mengurusi (yasûsu) rakyatnya
saat mengurusi urusan rakyat, mengaturnya, dan menjaganya. Begitu pula dalam
perkataan orang Arab dikatakan : ‘Bagaimana mungkin rakyatnya terpelihara
(masûsah) bila pemeliharanya ngengat (sûsah)’,
artinya bagaimana mungkin kondisi rakyat akan baik bila pemimpinnya rusak
seperti ngengat yang menghancurkan kayu. Dengan demikian, politik merupakan
pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah), pelurusan (taqwim), pemberian arah petunjuk (irsyad), dan pendidikan (ta`dib).
Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya: “Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam segi bukti empiris sejarah, Politik Islam telah membuktikan mampu menyatukan banyak jenis ras, golongan, bangsa, hingga agama. Bukti paling fenomenal adalah adanya julukan “negeri tiga agama” bagi Spanyol. Di sana pernah bersatu tiga agama besar dunia secara rukun, yakni agama Islam, Nasrani dan Yahudi.
Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya: “Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam segi bukti empiris sejarah, Politik Islam telah membuktikan mampu menyatukan banyak jenis ras, golongan, bangsa, hingga agama. Bukti paling fenomenal adalah adanya julukan “negeri tiga agama” bagi Spanyol. Di sana pernah bersatu tiga agama besar dunia secara rukun, yakni agama Islam, Nasrani dan Yahudi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar